Sabtu, 16 April 2011

16 April 2011

Andai saya tahu kenapa saya menulis semua ini di malam ini…
Saya sendirian di sabtu malam ini. Ya saya sendiri. Disini cuma ada saya, hati saya yang kosong, tugas saya yang bertumpuk-tumpuk, dan kamu di pikiran saya. Kamu yang saya juga nggak tahu kenapa nggak pernah berkehendak untuk enyah dari sana. Kamu yang hanya saya dan Tuhan yang tau. Dramatisasi. Sebenarnya sudah banyak yang tahu. Saya rasa saya tidak pernah bisa bahagia sampai saya bertemu dengan kamu. Ya, kamu. Walau mungkin bertemu dengan saya bukan impian kamu… Tapi kamu impian saya! Dan saya sering membayangkan, berkhayal dalam diam. Menerawang jauh menembus masa depan yang tak bisa saya gambarkan. Saya dan kamu berjalan, berbeda arah, menggandeng tangan orang lain. Saya tersenyum, kamu juga. Kita sama-sama tahu, kita sudah mendapatkan yang terbaik untuk kita. Dan saya nggak akan pernah patah hati lagi karena kamu: melihat foto kamu, membaca tweet kamu, dan menduga pikiran dan hati kamu. Karena sesungguhnya semua sudah terbaca, meski kadang mata saya buta membaca semua itu —kadang malah bertingkah seperti saya tidak pernah membacanya.Ngomong-ngomong , tadi saya bilang kalau kamu itu impian saya? Saya nggak yakin, sebenarnya. Tapi saya rasa kamu itu satu dari (cuma) puluhan hal yang bisa membuat saya mau berlari mengejar sesuatu. Yang saya tahu, kamu cuma diam pas saya kejar, tapi anehnya saya nggak sama sekali bisa menjangkau kamu dari jarak yang sedekat itu. Kamu tahu rasanya? ANEH. Lucu, ketika mungkin kamu suatu saat membaca tulisan ini dan berpikir “Buat siapa ya, si Chaca nulis ini?”. Oh! Yaudahlah~ Tulisan ini lama-lama menyakiti. Tapi, saya benar-benar nggak tahu kenapa butuh jeda 1 jam untuk menulis kalimat terakhir ini: Nyatanya, hati memang tidak berpindah semudah itu. Nyatanya, saya sekarang tahu rasanya bagaimana mencintai seseorang hingga sesakit ini, sesesak ini -sesinting ini. Dan itu semua buat kamu. Kalau suatu hari kamu tahu tentang semua ini, berterima kasihlah! Karena untuk 19 tahun saya hidup, saya berharap ada orang yang mencintai saya seperti saya mencintai kamu, mematikan detak jantungnya seperti detak jantung saya yang mati karena berusaha mengucap nama kamu disaat semua temanmu tertawa, memandang ini sebuah lelucon dan berpikir bahwa kamu baik-baik saja dan… orang itu benar-benar ada. Nggak fiksi.