Jumat, 04 Oktober 2013

Kosong kosong.

Hai, selamat bertemu lagi...

Kosong-kosong lebih satu.
Aku tak pernah merasa ingin didengar lebih dari ini. Namun aku tak pernah merasa tak didengar lebih dari ini. Dua puluh dua. Begitu cepat. Entah mungkin malah terlalu cepat hingga ketika aku berdiri di pinggir jalan itu, beberapa lelaki berbaju rapi, -orang kantoran, melempar senyum dan kubalas dengan tatapan aneh.
"Masa orang kerja gangguin anak SMA sih?"
Oops. Tersadar. Dua puluh dua.

Kosong-kosong lebih tujuh.
Aku mengingatnya lagi, dengan teramat jelas. Rasanya mengguncang kepala hingga terasa sakit menghujam. Hingga rasanya aku malu pada tembok yang menatapku sejak tadi pagi, pada tembok yang selalu menjadi saksi. Aku tak pernah membagi fakta yang selaras dengan impian ku padamu, wahai tembok. Aku selalu palsu dan kau selalu mengernyit mencemohku. Aku pun benci. Tak mau lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, meringkih seperti ini. Kamu tahu itu.

Kosong-kosong sebelas.
Pikiranku masih omong kosong. Tembok masih disini, sakitnya masih disini. Jika tertidur memang obat dari segala sakit, mengapa ia tak mampu melelapkan dan menghapus pedihku? Bukankah tidur adalah tempat terbaik bagi para manusia yang selalu berlari menjauhi kenyataan pahit hidupnya? Aku tidak peduli. Aku rasa  aku lebih ingin terjebak ke dalam pekatnya mimpi buruk ketimbang dimakan pikiranku. Tambah sakit.

Kosong-kosong lima belas.
Ada yang ngetweet tentang cinta. Mengapa mereka hobi berceloteh tentang cinta? Bukankah cinta hanya sebuah rasa yang tak perlu diumbar? Perlukah cinta diketahui? Perlukah cinta dimengerti?

Aku tidak pernah lagi mempercayai bahwa menemukan cinta berbanding lurus dengan menemukan jodoh.
Aku tidak pernah lagi mempercayai bahwa aku mengerti.
Semua orang bilang mereka paling mengerti tentang cinta, tapi mereka tak punya rasa.
Semua orang bilang mereka mencinta, tapi takut kehilangan, si manusia, bukan si cinta.
Semua orang bilang cinta itu semu, tapi mereka tak benar-benar nyata.
Jadi...

Punya jawabnya?