Andai saya tahu kenapa saya menulis semua ini di malam ini…
Saya
sendirian di sabtu malam ini. Ya saya sendiri. Disini cuma ada saya,
hati saya yang kosong, tugas saya yang bertumpuk-tumpuk, dan kamu di
pikiran saya. Kamu yang saya juga nggak tahu kenapa nggak pernah
berkehendak untuk enyah dari sana. Kamu yang hanya saya dan Tuhan yang
tau. Dramatisasi. Sebenarnya sudah banyak yang tahu. Saya rasa saya
tidak pernah bisa bahagia sampai saya bertemu dengan kamu. Ya, kamu.
Walau mungkin bertemu dengan saya bukan impian kamu… Tapi kamu impian
saya! Dan saya sering membayangkan, berkhayal dalam diam. Menerawang
jauh menembus masa depan yang tak bisa saya gambarkan. Saya dan kamu
berjalan, berbeda arah, menggandeng tangan orang lain. Saya tersenyum,
kamu juga. Kita sama-sama tahu, kita sudah mendapatkan yang terbaik
untuk kita. Dan saya nggak akan pernah patah hati lagi karena kamu: melihat foto kamu, membaca tweet kamu,
dan menduga pikiran dan hati kamu. Karena sesungguhnya semua sudah
terbaca, meski kadang mata saya buta membaca semua itu —kadang malah
bertingkah seperti saya tidak pernah membacanya.Ngomong-ngomong , tadi saya bilang kalau kamu itu impian saya? Saya nggak yakin,
sebenarnya. Tapi saya rasa kamu itu satu dari (cuma) puluhan hal yang
bisa membuat saya mau berlari mengejar sesuatu. Yang saya tahu, kamu
cuma diam pas saya kejar, tapi anehnya saya nggak sama sekali
bisa menjangkau kamu dari jarak yang sedekat itu. Kamu tahu rasanya?
ANEH. Lucu, ketika mungkin kamu suatu saat membaca tulisan ini dan
berpikir “Buat siapa ya, si Chaca nulis ini?”. Oh! Yaudahlah~ Tulisan ini lama-lama menyakiti. Tapi, saya benar-benar nggak tahu
kenapa butuh jeda 1 jam untuk menulis kalimat terakhir ini: Nyatanya,
hati memang tidak berpindah semudah itu. Nyatanya, saya sekarang tahu
rasanya bagaimana mencintai seseorang hingga sesakit ini, sesesak ini
-sesinting ini. Dan itu semua buat kamu. Kalau suatu hari kamu tahu
tentang semua ini, berterima kasihlah! Karena untuk 19 tahun saya hidup,
saya berharap ada orang yang mencintai saya seperti saya mencintai
kamu, mematikan detak jantungnya seperti detak jantung saya yang mati
karena berusaha mengucap nama kamu disaat semua temanmu tertawa,
memandang ini sebuah lelucon dan berpikir bahwa kamu baik-baik saja dan…
orang itu benar-benar ada. Nggak fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar