Senin, 24 Mei 2010

Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang kita tahu

Apa ya?
Kisruh dalam dunia politik yang kian meruncing. Beberapa oknum yg mengaku sebagai atau mungkin memang begitu, mahasiswa datang menentang suatu hal yang marak saya dengar tentang 'lambatnya kinerja SBY'.
Di kiri terdengar dukung bibit chandra. Di kanan tersiar berita tentang sebuah restoran fastfood di Makassar di rusak oknum yang lagi-lagi, katanya adalah mahasiswa. Di dalam hati, apa yang dibela?
Hari ini hari korupsi. Saya ingat tadi pagi di putaran tugu tani ada seorang bapak polisi yang mengacungkan telunjuk dengan wajah beringas ke arah sebuah mobil yang nekat melintas. Saya jadi bertanya-tanya. Masa pagi-pagi pak polisi sudah cari 'mangsa'? Tapi pikiran jelek saya buyar seketika, kayak PSK yang kabur dikejar trantib.

'Oh maksudnya biar rombongan SATPOL PP yang berkacamata mahal dan bersiul menggoda saya terus itu bisa lewat duluan'
Ah saya jadi kebanyakan menggumam.

Sore hari, beribu desas desus dan berjuta asumsi terlontar di atas kaleng dengan roda yang berjalan. Ayo dibeli, kompas cenggoh, media indo serebu. Saya kurang tahu kenapa saya agak -sangat ingin mengecam setiap pembicaraan orang-orang. Kita menyebut Pak Presiden dengan julukan ES-BE-YE. Sungguh, saya jadi benar-benar berpikir apakah jabatan Presiden di negeri ini jadi sama atau bahkan tidak lebih penting dari jabatan seorang tukang sayur komplek rumah saya yang sering dipanggil Sarimin, padahal namanya Fahri. Haha. Ah lupakan. Merinding, dimana kita dengan entengnya menyebut nama julukan tersebut tanpa mengingat jabatan orang tersebut. Apakah rasa hormat sudah tidak ada lagi ? Apa kita harus kembali ke jaman dimana orang-orang yang melanggar pemerintah mati dengan gampangnya, cuma supaya kita hormat?

Saya bukan siapa-siapa dibanding kakak-kakak mahasiswa dengan almamater kuning, hijau, atau biru yang sering mejeng di tv itu. Dimana argumentasi bak kacang rebus. Dimana harapan memperbaiki negeri ini dituangkan secara demokratis, walaupun secara tidak sadar kita mungkin tidak berlaku demokratis terhadap orang yang kita hujat.
Maaf, saya merasa kecewa amat sangat. Kita bukan siapa-siapa, bukan berarti kita tidak berbuat apa-apa. Tapi bukan dengan cara yang irasional. Demo hari anti korupsi hari ini, bukan 'Bersihkan Negeri Ini Dari Korupsi' editorialnya, seharusnya, tetapi 'Apakah kita semua tidak pernah korupsi?'. Keinginan yang sangat luhur, memprotesi korupsi di negeri ini tapi malah jadi kayak mencoba menebang pohon yang akarnya sudah merembet kemana-mana dengan cuma sekali tebasan golok, ah besok juga tumbuh lagi.

Makassar punya cerita lain lagi, sebuah restoran fastfood kena amuk mahasiswa. Dimana relasi hal tersebut dengan kasus korupsi? Pernahkah berpikir, yang mati nanti pegawai dengan seragam tolol-nya, bukan yang pakai dasi-nya.

Coba tanya kembali ke hati nurani kita, kita ini tahu apa? Apa kita cuma mengejar emosi kita yang menempatkan kita sebagai boneka yang digerakkan oknum X untuk menjatuhkan oknum Y? Lambat bukan berarti tidak berpikir dan cepat tidak berarti selesai. Coba direnggangin dulu urat dilehernya, tatap jaket almamater kita, mau jadi apa bangsa kita kalau semua masalah berujung lempar batu? Apa tingkat korupsi-nya menurun? Jawab sendiri.


Di copy dari note facebook saya, 09 Desember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar